Senin, 04 Juni 2012

Senin, 12 November 2007

KHALIFAH SEBAGAI TUJUAN ?



Permasalahan "khilafah" atau "Imamah" / memang selalu menarik untuk dibicarakan. Seiring dengan tabiat manusia yang suka terhadap hal-hal yang berkaitan dengan "kekuasaan". Membicarakan masalah khilafah tidak akan lepas dari seputar masalah kekuasaan dengan segala bumbu-bumbu penyedapnya.

Tidak syak lagi, bahwa masalah tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak permasalahan di dalam dien yang mulia ini. Namun amat disayangkan, sebagian orang atau kelompok menyikapi masalah "kekuasaan" ini secara berlebihan. Mereka menganggap masalah. khilafah adalah perkara yang paling urgen sekarang ini, bahkan mereka mengang-gap kekhalifahan merupakan solusi satu-satunya untuk mengentaskan seabrek problematika yang tengah menimpa umat. Apakah benar demikian ? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu menilik kembali sirah (sejarah) dakwah Rasulullah SAW. Di samping itu, kita juga perlu menyimak pengarahan dan bimbingan alim ulama seputar masalah tersebut. Sebab sudah kita sepakati bersama bahwa seluruh persoalan dienul Islam harus dipecahkan dengan kaidah ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah sesuai pemahaman generasi terbaik umat ini, yakni generasi sahabat. Bukan dengan analisa akal atau perasaan yang bersifat nisbi dan spekulatif. Berbagai pengalaman pahit yang telah menimpa umat ini cukup menjadi pelajaran bagi semua.

Apakah Khilafah Merupakan Tujuan Dakwah para Rasul ?

Di bawah ini akan kami paparkan sebagian pandangan alim ulama tentang masalah 'lmamah'.

Imam Abul Hasan Al-Mawardi berkata:,

"Imamah ditegakkan sebagai salah satu sarana untuk meneruskan Khilafatun Nubuwwah dalam rangka memelihara dien dan mengatur urusan dunia. Menegakkannya di tengah-tengah umat ada-lah wajib berdasarkan ijma' bagi yang berwenang untuk itu, meskipun Al-Asham menyelisihi ijma' ter-sebut. Kemudian yang diperselisihkan adalah, apakah hal itu wajib berdasarkan akal atau berdasarkan nash syar'i ?

Sebagian ulama berkata: "Wajib berdasarkan akal! sebab secara tabiat, orang yang berakal pasti menyerahkan urusan merek'a kepada seorang pemimpin yang dapat melindungi mereka dari tindak kezhaliman. Seorang penyair bernama Al-Afwah Al-Audi berkata:

Urusan manusia akan hancur berantakan bila tanpa pemimpin.

Dan tidak ada gunanya pemimpin, jika orang-orang bodoh yang menguasainya. Sebagian ulama lain berkata: Wajib berdasarkan dalil syar'i bukan dengan akal. Sebab seorang imam berkewajiban menerapkan hukum-hukum syariat. Telah dibuktikan dengan akal itu sendiri bahwa sarana ibadah tidak mungkin ditetapkan dengan logika. Oleh karena itu, akal bukanlah faktor yang mewajibkannya. Kemudian disepakati bersama wajibnya 'lmamah' (mengangkat imam) dengan firman Allah SWT :

"Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya serta pemimpin-pemimpin kamu" (An-Nisa': 59)

Berdasarkan ayat di atas, wajib hukumnya bagi kita untuk mentaati penguasa yang berdaulat.

Hisyam bin 'Urwah telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Sepeninggalku, kamu akan diperintah oleh para pemimpin, ada yang baik dan ada yang jahat, memimpin dengan kejahatannya. Patuhi dan taatilah mereka dalam segala urusanyang sesuai denganAl-Haq. Jika mereka berbuat baik, maka bagimu (pahala) amalmu dan bagi mereka (pahala) kebaikan mereka. Jika mereka berbuat jahat, maka bagi kamu (pahala) amal baikmu dan tanggung jawab mereka kejahatan yang mereka lakukan."

Dengan demikian, telah ditetapkan wajibnya mengangkat seorang imam, status wajibriya adalah wajib kifayah seperti hukum jihad, menuntut ilmu dll. (Ahkamus Sulthaniyah hal 5-6)

Al-Qadhi Abu Ali berkata: "Mengangkat seorang imam adalah wajib."

Imam Ahmad berkata: "Fitnah (kekacauan) akan terjadi jika tidak ada pemimpin yang mengatur urusan orang banyak."

Demikian juga, ketika para sahabat berbeda pendapat pada hari saqifah (tentang pemilihan khalifah), orang-orang Anshar berkata: Dari kami seorang amir dan dari kalian juga seorang amir !" Namun Abu Bakar dan Umar menolak gagasan tersebut. Mereka berkata: "Sesungguhnya orang Arab hanya tunduk kepada bangsa Quraisy." Seandainya mengangkat imam tidak wajib, niscaya tidak akan terjadi dialog yang hangat dan perdebatan tentang masalah itu. Sebab, pasti akan ada yang menyanggah; "Mengangkat seorang imam tidaklah wajib, baik bagi suku Quraisy maupun yang lainnya !" (Lihat Ahkamus Sulthaniyah hal 19) Imamul Haramain berkata: "Masalah "Imamah" termasuk masalah furu'." (Lihat Mughitsul Khalgi hal 9)

Jadi, mengangkat seorang khalifah atau imam bagi segenap kaum muslimin termasuk masalah fiqih yang tercantum di dalam buku-buku fiqih beserta syarat-syaratnya. Bukan termasuk masalah ushuludin apalagi rukun Islam. Masalah tersebut hanya dicantumkan di dalam buku-buku furu' (fiqih), yang sangat memungkinkan sekali untuk saling berbeda pendapat di dalamnya. Al-'Allamah Bukhait Al-Muthi'iy mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Sullamul Wushul Hasyiyatu Nihayatis Suul sebagai berikut: "Saya katakan: Masalah wajibnya mengangkat seorangImam 'Aam (imam bagi segenap kaum muslimin), tanpa diragukan lagi termasuk permasalahan furu' fiqhiyyah. Bukan termasuk ushuluddin. Dasarnya adalah ijma' yang sudah mutawatir semenjak zaman sahabat. Hukumnya hanyalah wajib kifayah."

Bahkan mengangkat masalah 'lmamah' lebih dari pada semestinya serta berlebih-lebihan dalam mempropagandakannya termasuk dasar agama Syi'ah Rafidhah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahi-mahullah menukil ucapan seorang penganut paham Syi'ah Imamiyah yang bernama Ibnul Muthahhir Al-Hulli, dia berkata dalam bukunya sebagai berikut: "Amma Ba'du, Risalah yang mulia dan makalah yang menyentuh ini mencantumkan tuntutan terpenting dalam hukum Islam dan termasuk masalah kaum muslimin yang sangat agung, yaitu masalah 'lmamah'. Hanya melalui masalah itulah derajat yang mulia dapat diraih. Masalah 'lmamah' ter-masuk salah satu rukun iman, yang merupakan sebab seseorang dapat kekal di dalam surga serta dapat terhindar dari murka Allah. (lihat Minhajus Sunnah 1/20)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah membantah ucapan di atas. Beliau mengemukakan sebagai berikut:

"Sesungguhnya yang berpendapat bahwa masalah "Imamah" merupakan tuntutan yang paling urgen di dalam hukum Islam dan merupakan masalah kaum muslimin yang paling mulia adalah dusta belaka berdasarkan ijma' (kesepakatan) kaum muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun kalangan Syi'ah. Bahkan pendapat seperti itu adalah sebuah kekufuran. Sebab masalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya lebih penting daripada masalah 'lmamah'. Hal itu sudah sangat dimaklumi di dalam dienul Islam. Seorang kafir tidak akan menjadi seorang mukmin hingga ia bersyahadat Laa Ilaaha Illallaahu waAnna Muhammadan Rasulullah. Atas dasar itulah Rasulullah SAW memerangi kaum kafir." (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah 1/16).

Apa yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam di atas tadi sudah sangat jelas menunjukkan bahwa masalah 'lmamah' bukan termasuk masalah Ushuluddin.

Syaikh Rabi' bin Hadi menyimpulkan:

"Anda dapat melihat, alim ulama menggolongkan masalah ini ke dalam masalah furu'. Masalah 'imamah' tidak lebih hanyalah sebagai wasilah (bukan tujuan utama) yang berfungsi sebagai pelindung Dienul Islam dan pengatur urusan dunia. Dalil wajibnyajuga diperselisihkan, apakah berdasarkan akal atau berdasarkan nash syar'i ? Kita juga berpendapat demikian (yaitu wajib hukumnya). Namun dalil yang dikemukakan oleh Al-Mawardi tadi bukanlah nash gath'i mengenai wajibnya 'lmamah'. Dalil tersebut hanya berbicara mengenai wajibnya mentaati para pemimpin yang benar-benar telah be-daulat. Barang kali Al-Qadhi Ahu Ali tidak memakainya sebagai dalil wajibnya mengangkat imam disebabkan kandungan dalil itu tidak menjurus ke sana. Yang pasti, apakah layak masalah 'lmamah' yang diperselisihkan dalil wajibnya tersebut dikata-kan sebagai "tujuan dien yang hakiki", "kewajiban utama para Nabi" dan ungkapan-ungkapan lain yang berlebihan ? yang membesar-besarkan masalah itu lebih dari ukurannya ? lalu meremehkan masalah aqidah dan prinsip-prinsip dien lainnya ?

(Lihat Manhajul Anbiya' fid Da`wati Ilallaah hal 155)

Dari ucapan alim ulama di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa:

1. Mengangkat seorang imam adalah fardhu kifayah. Ini adalah hal yangkita sepakati bersama. Tentu saja dengan kriteria imam yang te.lah dibahas secara khusus dalam kitab-kitab ahli ilmu.

2.Masalah 'lmamah' termasuk masalah furu' (fiqhiyyah). Artinya tidak termasuk masalah ushul (inti). la hanyalah wasilah bagi tujuan hakiki diutusnya para rasul, diturunkannya kitab-kitab suci dan hikmah diciptakannya manusia, yaitu: 'Mengesakan Allah swt dalam ibadah mereka'. Itulah yang menjadi pokok pembahasan, yaitu penegasan bahwa masalah 'lmamah' bukanlah masalah dan tujuan utama di dalam dien ini. la hanyalah ma-salah furu' seperti yang dituturkan oleh Imam Al-Haramain dan yang lainnya.

Kekuasaan Bukanlah Tujuan Dakwah Para Rasul

Allah Ta'ala telah menjelaskan kepada kita misi dakwah para rasul yang diutus-Nya. Allah SWT berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembalah Allah (saja) danjauhilah thaghut itu."

(An-Nahl : 36)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu kecuali kami wahyukan kepadanya 'bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Aku. Maka sembahlah Aku saja." (Al-Anbiya' 25)

Setiap rasul pasti memulai dakwahnya dengan menyerukan tauhid uluhiyah, sebab itulah inti ajaran Islam yang mulia ini. Sebagaimana yang diserukan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu'aib dll

"Hai kaumku, sembahlah Allah! sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya (Al-A'raf : 59, 65, 73, dan 85).

Demikian pula Rasulullah, beliau juga diperintahkan untuk menyerukan kalimat tauhid ini kepada kaum Quraisv.

' Katakanlah (wahai Muhammad), 'Sesungguh-nya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama."

(Az-Zumar: 11)

Dari untaian ayat-ayat di atas jelaslah bahwa misi dakwah para rasul adalah menegakkan kalimat tauhid dan memberantas penyakit-penyakit syirik. Tidak ada satu nabi pun yang menjadikan kekuasaan sebagai misi-utamanya.

Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai masalah ini silakan baca majalah As-Sunnah edisi ke 2 tahun V pada mabhats yang berjudul 'Tashfiyah Dalam Dakwah Menuju Jalan Allah'.

Kekuasaan Adalah Suatu Yang Telah Dijanjikan Bagi Kaum Muwahhidin (orang-orang yang memurnikan tauhid).

Allah Ta'ala berfirman:

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamudan mengerjakan amal salih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagai-mana Dia telah menjadikan orang-orang sebe-lum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan menegakkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukarkan keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nur : 55)

Secara tegas Allah Ta'ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan kekuasaan itu bagi hamba-hamba-Nya yang memurnikan ibadah hanya kepada-Nya serta menjauhi segala bentuk kemusyrikan.

Namun sangat disayangkan, sebagian orang jus-tru bertindak sebaliknya! Meraih kekuasaan dengan segala upaya, baru setelah itu menegakkan tauhid (kata mereka)! Cara seperti itu jelas bertentangan dengan sunnatullah dan sunnah para rasul. Jika niat mereka meraih kekuasaan murni hanya untuk menegakkan dienullah, seharusnya mereka melak-sanakan perintah Allah SWT tersebut dan meneladani para rasul dalam berdakwah dan berjuang. Sebab menyimpang dari pedoman dan bimbingan nabawi, tentu akan jauh dari berkah serta tidak akan ber-hasil. Bagaimana mungkin Allah Ta'ala akan meridhai orang-orang yang jahil tentang tauhid lagi ber-lumuran dengan noda syirik dan bidah ?

Rasulullah SAW juga pernah ditawari kekuasaan ketika beliau masih berada di kota Makkah. Namun tawaran tersebut beliau tolak. Beliau tetap eksis di atas jalur dakwah para nabi sebelumnya. Hingga akhirnya pemuka-pemuka Quraisy mengutus 'Utbah bin Rabi'ah supaya membujuk Rasulullah §H agar menghentikan dakwah.

"Utbah berkata: "Wahai saudaraku ! engkau ditengah-tengah kami adalah seorang yang berasal dari keluarga terpandang dan nasab yang mulia sebagaimana yang engkau ketahui. Namun engkau telah membawa bencana besar atas kaummu ! Engkau pecah belah persatuan mereka, engkau buyarkan harapan mereka, dan engkau hinakan tuhan-tuhan mereka serta engkau kafirkan nenek moyang mereka terdahulu. Sekarang dengarkanlah ucapanku ! Aku akan menawarkan beberapa perkara, mudah-mudahan engkau dapat menerima sebagian tawaran kami ini."

Rasulullah SAW berkata kepadanya: "Katakanlah wahai Abul Walid!"

'Utbah pun berkata: "Wahai saudaraku, jika engkau menghendaki harta dari ajaran yang engkau dakwahkan itu, maka akan kami kumpulkan harta kami untukmu, hingga engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika engkau menghen-daki kedudukan yang mulia, akan kami angkat engkau menjadi tuan di antara kami, kami tidak akan memutuskan suatu perkara pun sehingga engkaulah yang memutuskannya. Jika engkau meng-hendaki kekuasaan, akan kami angkat engkau sebagai penguasa atas kami. Jika ternyata engkau terkena sihir yang tidak dapat engkau atasi, maka kami akan mencarikan tabib untuk menyem-buhkanmu, akan kami belanjakan harta kami demi kesembuhanmu. Karena barangkali ada pengganggu (jin) yang menguasai seseorang yang tidak dapati diatasinya kecuali diobati." Hingga akhirnya 'Utbah menyelesaikan seluruh tawarannya itu sedangkan Rasulullah SWT| tetap mendengarkannya. Kemudian beliau bersabda: "Sudah selesaikah wahai Abul Walid?"

"Sudah !"jawabnya. Rasulullah berkata: "Sekarang, dengarkanlah ucapanku."

"Silakan!" sela 'Utbah.

Lalu beliau membacakan surat Fushshilat setelah terlebih dahulu membaca basmalah.

"Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penvavang.

Haa Miim. Diturunkan dari Rabb Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui.
Yang membawa kabar gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling daripadanya, maka mereka tidak mau mendengarkannya
"

Rasulullah terus membacakannya dihadapan 'Utbah yang diam sejenak menyimak bacaan Rasulullah sambil bertelekan dengan kedua tangannya ke belakang. Sampai Rasulullah membaca ayat sajadah (ayat 38) beliau pun sujud, kemudian berkata:

"Wahai Abul Walid, Apakah engkau telah mendengarkannya ? Sekarang terserah padamu !"

Setelah itu 'Utbah pun pulang menemui pemu-ka-pemuka Quraisy. Mereka bertanya: "Bagaimana hasilnya wahai Abul Walid ?"

'Utbah menjawab: "De'mi Allah, aku telah mendengar sebuah perkataan yang belum pernah aku mendengar perkataan seperti itu. Demi Allah, perkataan itu bukanlah sihir, bukan pula syair, apalagi jampi-jampi! Wahai segenap kaum Quraisy, taatilah aku dan berikanlah ketaatan itu padaku, biarkanlah pemuda itu (Rasulullah SAW)! Demi Allah, perkataannya yang kudengar itu pasti akan menjadi sebuah peristiwa Besar ! Jika orang-orang Arab (selain Quraisy) mampu mengalahkannya, berarti kamu dapat mengatasinya melalui kaum yang lain. Jika pemuda itu dapat menguasai bangsa Arab, maka kekuasannya adalah kekuasaan kalian juga, kemuliaannya adalah kemuliaan kalian juga. Dan kalianlah orang yang paling beruntung dengan kemenangannya!"

Pemuka-pemuka Quraisy itupun berkata: "Demi Allah, ia telah menyihirmu dengan lisannya yaa Abul Walid!"

'Utbah menyeringai: "Terserah kalian semua, namun demikianlah pendapatku!"

(H.R Ibnu Ishaq dalam sirahnya dan dicantum-kan oleh Ibnu Hisyam dalam bukunya I/hal 293-294, dikeluarkan juga oleh 'Abd bin Humeid dalam Munta-khabnya hal 208 no.1141, dan Abu Ya'la dalam Mus-nadnyalemb.101 dari Jabir 6 )

Didalam riwayat lain dari Abdullah bin 'Abbas ia menceritakan bahwa beberapa orang pemuka suku Quraisy datang menawarkan beberapa perkara kepada Rasulullah persis seperti tawaran yang diajukan oleh 'Utbah di atas. Rasulullah SAW menjawabnya sebagai berikut:

"Sedikitpun aku tidak tertarik dengan tawaran kalian itu. Sama sekali aku tidak meminta harta, kemuliaan dan kekuasaan atas kalian semua sebagai imbalan dari ajaran yang kudakwahkan ini. Akan tetapi Allah telah mengutusku sebagai seorang rasul kepada kalian serta menurunkan Al-Qur'an kepada-ku. Dia telah memerintahkan kepadaku agar aku menjadi pembawa kabar gembira sekaligus sebagai pemberi peringatan bagi kalian. Dan aku telah me-nyampaikan risalah Rabbku. Dan aku juga telah memberi nasehat kepada kalian. Jika kalian mene-rima nasehat itu, maka kalian telah mendapatkan bagiankalian di dunia dan di akhirat. Namun jika kalian menolaknya, maka aku akan bersabar di atas perintah Allah Ta'ala hingga Allah SWT memutuskan perkara di antarakita."

(Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq sebagai penguat riwayat sebelumnya. Dicantumkan oleh Ibnu Hisyam clalam sirahnya I/hal 295-296) Hikmah Yang Terkandung Dalam Surat Fushshilat

Jika kita perhatikan dengan saksama surat yang dibacakan Rasulullah saw di hadapan 'Utbah, banyak sekali hikmah yang terkandung di dalam. Di antara-nya: "Penyebutan tiga pokok dasar yang merupakan asas seluruh agama samawi, yaitu

-Tauhidullah dalam ibadah.

-Penetapan Nubuwwat.

-Iman kepada Hari Akhirat.

Tiga pokok dasar di atas merupakan misi utama dakwah para rasul. Dan juga merupakan inti dari seluruh kitab suci yang diturunkan Allah SWT. Al-Imam Asy-Syaukani telah menjelaskan ke tiga landasan utama tersebut di dalam kitabnya yang berjudul: "Irsyaadul Fuhuul 'llaa Ittifaagiys Syraai' 'Alat Tauhid wal Ma'aad ivan Nubuwwat", beliau membawakan dalil-dalil dari Al-Qur'an, At-Taurat dan Al-Injiil.

Pada awal surat Fushshilat, Allah SWT menetap-kan nubuwwat Muhammad SAW. Beliau diperintahkan untuk menyerukan kepada umat manusia bahwa beliau adalah seorang manusia biasa yang diistimewakan Allah SWT dengan wahyu (ayat 6). Yaitu berupa kitab suci yang berbahasa Arab yang dijelaskan ayat-ayatnya, berisi kabar gembira dan peringatan (ayat 3-4). ,

Ini adalah penetapan kenabian Rasulullah SAWSAW.

Kemudian Allah SWT berbicara tentang pencip-taan langit dan bumi beserta penghuninya serta seluruh fasilitas yang ada di dalamnya (ayat 9-12). Guna menegaskan bahwa Dia-lah Rabb yang berhak untuk disembah dan diibadahi, tiada ilaah (sesem-bahan) yang berhak disembah kecuali Dia semata (14 & 37-38).

Ini adalah penetapan Tauhid Uluhiyyah.

Lalu Allah SWT. menceritakan azab di dunia yang menimpa kaum yarig durhaka seperti kaum 'Add dan Tsamud (ayat 15-18).

Setelah itu Allah SWT menetapkan adanya Hari Kebangkitan, hari dikumpulkannya seluruh makhluk. Allah SWT menyebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan itu. Diantaranya:

1. Persaksian anggota tubuh manusia terhadap perbuatan
yang mereka lakukan di dunia (ayat 19-22).

2. Azab yang ditimpakan kepada orang yang ingkar
pada Hari Kiamat (ayat 26-29).

S.Janji Allah SWT bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta istiqamah di atas keimanan mereka (ayat 30-32).

Secara garis besar, surattersebutmenjelaskan ke tiga landasan utama itu. Dengan demikian jelas-lah, kekuasaan bukan merupakan prioritas utama dalam dakvvah para rasul. Sebab jika memang demikian, Rasulullah SAW pasti menerima tawaran yang disodorkan kaum Quraisy tersebut. Menurut logika orang yang beranggapan bahwa kekuasaan adalah solusi terbaik untuk mengentaskan seluruh problematika amat, tawaran kekuasaan tersebut mestinya diterima oleh Rasulullah SAW. Sebab hal itu merupakan jalan pintas untuk menuju kejayaan umat (menurut logika mereka)! Namun tidak begitu menurut hikmah ilahiyah yang Allah wahyukan kepada rasul-Nya! beliau tidak berkeinginan memilih jalan yang menyimpang dari jalan para rasul sebelumnya. Untaian ayat tersebut telah membuat 'Utbah terpaku dan terpukau. Ayat tersebut membungkam segenap kaum penentang bahwa tugas para utusan Allah SWT. Hanyalah menyeru umat manusia agar kembali kepada jalan Allah SWT , kepada pengesaan Allah dalam ibadah. Hal itu tertuang di dalam salah satu ayat yang dibacakan Rasulullah :

"Siapakahyang lebih baik perkataannya dari-pada orangyang menyeru kepada Agama Allah dan mengerjakan amal shalih serta berkarta: 'sesungguhnya aku termasuk orang yang ber-serah diri. "(Fushshilat : 33)

Mayoritas Pengikut Para Rasul Adalah Kaum Lemah

Sudah kita maklumi bersama bahwa Allah SWT tidak membebankan rasul-rasul-Nya untuk menegakkan atau menumbangkan sebuah daulah. Hal itu dapat kita buktikan lewat sepak terjang mereka dalam berdakwah. Seruan kepada perebutan kekuasaan umumnya menarik minat banyak orang dari berbagai kalangan. Mereka bisa saja bersatu demi hal hal itu. Pasti akan banyak sekali yang bakal mengelilingi hidangan bernama "kekuasaan" itu. Orang yang baik maupun yang jahat, yang tulus nan jujur maupun para pendusta lagi bermuka dua ! Sebagaimana yang dilakukan sebagian kelompok dakwah. Mereka merekrut 'orang-orang yang dianggap berpotensi' untuk meraih kekuasaan. Sehingga banyak orang yang ter-pukau dengan kemilau nama-iiama beken yang di-akui sebagai simpatisan kelompoknya. Padahal tidak sedikit dari 'orang-orang itu' yang hanya nebeng dan sekedar menjadikan kelompok tersebut sebagai batu loncatan untuk mendapat jabatan dan kedudukan. Cara seperti itu jauh berbeda dengan metode dakwah paraNabi. Sejarah mencatatbahwa mayoritas pengi-kut para nabi adalah orang-orang lemah dan kaum fakir miskin. Allah berfirman tentang nabi Nuh beserta pengikutnya:

"Mereka berkata:"Apakah kami akan beriman kepadamu, padahalyang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?" (QS. 26:111)

Mengenai nabi Shalih dan kaumnya Allah SWT berfirman:

"Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka:"Tahukah kamu bahwa Shaleh diutus (menjadi rasul) oleh Rabbnya?". Mereka menjawab:"Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampai-kannya". Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu".(QS. 7:75-76)

Hikralius pernah bertanya kepada Abu Sufyan: 'Apakah yang mengikutinya orang-orang terpandang ataukah kaum lemah ?" Abu Sufyan menjawab: "kaum lemahlah yang mengikutinya." Hiraklius menimpali: "Aku menanyakan kepadamu tentang kaum yang menjadi pengikutnya, apakah kaum ter-pandang atau kaum lemah! Engkau sebutkan bahwa yang mengikutinya adalah kaum lemah ! demikian-lah pengikut para rasul!"

Coba lihat bagaimana Rasulullah SAW menyebarkan dakwah, seperti yang diungkapkan Jabir bin Abdillah ra berikut ini:

"Rasulullah SAW menetap di kota Makkah selama lebih kurang sepuluh tahun. Beliau menyerukan dakwah dari pintu ke pintu mendatangi orang-orang di rumah-rumah mereka dan di pasar 'Ukkazh dan Majinnah pada musim haji di Mina. Beliau menyeru: "Siapakah yang sudi melindungiku ! siapakah yang sudi menolongku ! agar aku dapat menyampaikan risalah Rabbku, maka baginya Surga ! Sampai-sam-pai jika seseorang hendak berangkat dari Yaman atau dari Mudhar menuju Makkah, maka kaumnya akan mendatanginya seraya memberitahu: "Hati-hati ter-hadap pemuda Quraisy (Rasulullah SAW) itu, jangan-lah kamu terpengaruh dengan ucapannya !" Demikianlah kondisinya! beliau mendatangi orang-orang sedang-kan mereka meremehkan beliau. Hingga akhirnya Allah mengutus kami dari negeri Yatsrib (Madinah). Kami pun bersedia melindungi beliau dan membenarkan ucapan beliau. Sehingga salah seorang dari kami datang menemui beliau lalu dia beriman kepada beliau dan beliau membacakan kepadanya AI-Quran. Kemudian dia kembali kepada keluarganya mengajak mereka masuk Islam, akhirnya mereka juga ikut masuk Islam. Hingga tidak tersisa satu rumah pun milik orang Anshar kecuali terdapat bebe-rapa orang yang telah menampakkan keislamannya." (H.R Ahmad 3/322).

Demikianlah Rasulullah dalam mengembangkan dakwah. Dakwah beliau bersih dari slogan-slogan politik dan kekuasaan.

Seruan kepada pendirian daulah dan kekuasaan sangat mudah untuk menarik minat semua lapisan masyarakat, sebab mayoritas manusia adalah pem-buru materi dunia dan pengikut hawa nafsu. Bukan-lah suatu hal yang berlebihan, sebab Rasulullah SAW juga mengatakan:

"Kalian akan berlomba-lomba memperebutkan kekuasaan, padahal ia hanyalah penyesalan pada Hari Kiamat, alangkah manis kekuasaan itu dan betapa pahit berpisah dengannya!" (H.RBukhari)

Permusuhan yang dilancarkan oleh penentang dakwah rasul adalah bukti bahwa dakwah mereka steril dari slogan-slogan kekuasaan. Hal itu terbukti ketika kaum Quraisy menawarkan kekuasaan kepada Rasulullah saw yang secara tegas beliau tolak. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menukil ucapan Al-Muhallab sebagai berikut:

"Sikap rakus kepada kekuasaan adalah sebab terjadinya peperangan diantara umat manusia. Sehingga banyak darah yang tertumpah, harta yang dirampas dan kehormatan yang diperkosa serta terjadilah kerusakan di atas muka bumi. Bila sudah terbunuh, dicopot dari kekuasaan atau meninggal dunia barulah orang-orang yang berlomba mempere-butkannya menyesal terlibat dalam kancah perebutan kekuasaan. Karena ia akan dituntut atas segala tin-dakannya. Kemudian setelah ia lengser, lenyaplah apa yang dahulu diidam-idamkannya (lihat Fathul Bari 13 /126).

Kesalahpahaman Dalam Memahami Kalimat Tauhid

Orang-orang atau kelompok yang menjadikan kekuasaan sebagai orientasi perjuangan menafsirkan kalimat tauhid dengan makna "Tiada hakim (penentu hukum) selain Allah" Tafsiran tersebut mereka jadikan sebagai acuan dan pijakan dalam pergerakan yang mereka serukan untuk menegakkan kalimat tauhid. Namun beiiarkah demikian ? Tafsiran di atas adaiah tafsiran yangkurang. Itu hanyalah tafsiran sebagian makna kalimat tauhid. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu terdapat dalam buku-buku yang banyak beredar sekarang ini. Sedangkan tafsir yang benar menurut alim ulama terdahulu maupun sekarang adalah "Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah". Kekeliruan itu mengakibatkan kesalahan dalam menetapkan skala prioritas dalam berdakwah, yang pada akhirnya menyimpang dari metode dakwah para rasul. Jadi, perbedaan dakwah mereka dengan dakwah para rasul adalah perbedaan yang sangat prinsipil.

Aqidah Tauhid Terlebih Dahulu Ataukah Kekuasaan ?

Tentu saja, aqidah yang benar adalah jaminan kemenangan umat yang mulia ini. Dapat kita teladani dari garnbaran masyarakat Madinah yang dibina langsung oleh Rasulullah SAW. Dalam riwayat Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Sulami , disebut-kan bahwa Rasulullah saw.pernali bertanya: "Dimana Allah ?" kepada seorang budak wanita yang sehari-harinya menggembalakan kambing di Jawwaniyah. Ternyata budak wanita itu dapat menjawab dengan tepat tanpa ada setitik keraguan dalam menjawab-nya. Artinya adalah keyakinan dan aqidah seperti itu sudah merata di kota Madinah, hingga seorang budak wanita yang sehari-harinya menggembalakan kambing jauh di luar kota juga mengetahuinya. De-ngan masyarakat seperti itulah agama Islam men-capai kejayaannya. Hingga daulah mereka terben-tang dari Andalus sampai ke negeri Cina. Benarlah janji Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 55 di atas tadi Sekarang kita lihat kondisi kaum muslimin sekarang ini, terutama di Indonesia, apakah mereka mengetahui aqidah yang sederhana tadi ? Cukup realita yang menjawabnya! Padahal dalam ayat yang lain Allah berfirman:

"Makajika mereka beriman kepada apayang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah m,endapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. 2:137)

Berpaling dari aqidah yang benar adalah sumber segala perpecahan, permusuhan dan pertikaian sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas. Jelaslah bahwa jalan menuju kejayaan umat adalah dengan memperbaiki aqidah mereka terlebih dahulu dari noda-noda syirik. Tokoh mereka sendiri, yaitu Muhammad Quthb, mengakui hal itu. Pengakuan itu beliau sampaikan di Darul Hadits Makkah Al-Mukarramah. Berikut pengakuannya:

Ada seorang yang bertanya: "Sebagian orang bejr-pendapat bahwa Islam akan kembali tampil lewat kekuasaan, sebagian lain berpendapat bahwa Islam akan kembali tampil dengan jalan meluruskan aqidah serta tarbiyah masyarakat. Manakah diantara dua pendapat ini yang benar ?"

Jawab beliau:

"Bagaimana Islam akan tampil berkuasa di muka bumi, jika para du'at (juru dakwah) belum me-luruskan aqidah umat ? sehingga kaum muslimin dapat beriman secara benar dan dapat diuji kete-guhan agama mereka, lalu mereka bersabar dan berjihad di jalan Allah. Bila hal tersebut telah dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, barulah agama Allah akan berkuasa dan Jiukum-hukumnya diterapkan di persada bumi. Persoalan ini amat jelas sekali. Kekuasaan itu tidak datang dari langit dan tidak serta merta turun dari langit. Memang benar, segala sesuatu datang dari langit, tetapi melalui kesungguhan dan upaya manusia. Hal itulah yang diwajibkan Allah atas manusia dengan firman-Nya:

"Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya-lah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian lainnya." (Muhammad: 4)

Karena itu kita harus memulai dengan meluruskan aqidah, mendidik generasi berikut atas dasar aqidah yang benar, sehingga terwujud suatu generasi tahan uji dan sabar dalam menghadapi berbagai cobaan, sebagaimana yang terjadi pada generasi awal Islam."

(Minhajul Firgatin Najiyah karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu).

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa para nabi tidaklah diutus untuk menumbangkan satu daulah dan menegakkan daulah lainnya. Mereka bukanlah pengejar kekuasaan dan bukan pula termasuk orang yang berlomba-lomba merebutnya. Mereka jauh dari intrik-intrik politik yang menyimpang. Mereka hanyalah membawa bidayah bagi semesta alam, menyelamatkan umat manusia dari kesesatan bidah dan syirik, mengeluarkan umat manusia dari alam kegelapan kepada cahaya yang terang benderang. Serta memperingatkan umat manusia dari murka Allah SWT. Meskipun kekuasaan itu disodorkan kepada mereka, pastilah mereka tolak. Merekatetap konsisiten di atas jalur dakwah kepada jalan Allah SWT. Sebagaimana tawaran kaum kafir Quraisy kepada Rasulullah yang secara tegas beliau tolak. Pernah juga ditawarkan kepada beliau, apakah suka menjadi seorang nabi merangkap raja ataukah menjadi seorang hamba dan rasul. Beliau lebih memilih menjadi seorang hamba dan rasul. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata:" Malaikat Jibril pernah menemui Rasulullah SAW. Kemudian ia menatap ke arah langit, ternyata seorang malaikat sedang turun. Malaikat Jibril berkata: "Sesungguhnya malaikat ini tidak pernah turun ke bumi semenjak diciptakan. Malaikat itu berkata: "Wahai Muhammad, Allah telah mengutusku kepadamu, Dia memberimu pilihan; 'Apakah engkau suka menjadi seorang nabi merang-kap raja ataukah seorang rasul dan hamba?" Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah "Bersikap tawadhu'lah terhadap Rabbmu !" Rasulullah SAW akhirnya menjawab: "Aku lebih senang menjadi seorang rasul dan hamba !"

(H.RAhmad 11/231)

Demikianlah sikap yang seharusnya diteladani oleh setiap da'i dan alim ulama pewaris nabi. Mari kita'teladani bersama!

Maraaji'

1. Al-Quran Al-Karim

2. Ahkamus Sulthaniyyah karya Al-Mawardi

3. Minhajus Sunnah An-Nabaiviyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

4. FathulBari karya Ibnu Hajar Al-Asqalaani Madarikun Nazhar tulisan Abdul Malik Ar-
Ramadani

5. Minhajul Anbiyaa'fid Dakwati ilallah tulisan Rabi' bin Hadi Al-Madkhali

Permasalahan "khilafah" atau "Imamah" / memang selalu menarik untuk dibicarakan. Seiring dengan tabiat manusia yang suka terhadap hal-hal yang berkaitan dengan "kekuasaan". Membicarakan masalah khilafah tidak akan lepas dari seputar masalah kekuasaan dengan segala bumbu-bumbu penyedapnya.

Tidak syak lagi, bahwa masalah tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak permasalahan di dalam dien yang mulia ini. Namun amat disayangkan, sebagian orang atau kelompok menyikapi masalah "kekuasaan" ini secara berlebihan. Mereka menganggap masalah. khilafah adalah perkara yang paling urgen sekarang ini, bahkan mereka mengang-gap kekhalifahan merupakan solusi satu-satunya untuk mengentaskan seabrek problematika yang tengah menimpa umat. Apakah benar demikian ? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu menilik kembali sirah (sejarah) dakwah Rasulullah SAW. Di samping itu, kita juga perlu menyimak pengarahan dan bimbingan alim ulama seputar masalah tersebut. Sebab sudah kita sepakati bersama bahwa seluruh persoalan dienul Islam harus dipecahkan dengan kaidah ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah sesuai pemahaman generasi terbaik umat ini, yakni generasi sahabat. Bukan dengan analisa akal atau perasaan yang bersifat nisbi dan spekulatif. Berbagai pengalaman pahit yang telah menimpa umat ini cukup menjadi pelajaran bagi semua.

Apakah Khilafah Merupakan Tujuan Dakwah para Rasul ?

Di bawah ini akan kami paparkan sebagian pandangan alim ulama tentang masalah 'lmamah'.

Imam Abul Hasan Al-Mawardi berkata:,

"Imamah ditegakkan sebagai salah satu sarana untuk meneruskan Khilafatun Nubuwwah dalam rangka memelihara dien dan mengatur urusan dunia. Menegakkannya di tengah-tengah umat ada-lah wajib berdasarkan ijma' bagi yang berwenang untuk itu, meskipun Al-Asham menyelisihi ijma' ter-sebut. Kemudian yang diperselisihkan adalah, apakah hal itu wajib berdasarkan akal atau berdasarkan nash syar'i ?

Sebagian ulama berkata: "Wajib berdasarkan akal! sebab secara tabiat, orang yang berakal pasti menyerahkan urusan merek'a kepada seorang pemimpin yang dapat melindungi mereka dari tindak kezhaliman. Seorang penyair bernama Al-Afwah Al-Audi berkata:

Urusan manusia akan hancur berantakan bila tanpa pemimpin.

Dan tidak ada gunanya pemimpin, jika orang-orang bodoh yang menguasainya. Sebagian ulama lain berkata: Wajib berdasarkan dalil syar'i bukan dengan akal. Sebab seorang imam berkewajiban menerapkan hukum-hukum syariat. Telah dibuktikan dengan akal itu sendiri bahwa sarana ibadah tidak mungkin ditetapkan dengan logika. Oleh karena itu, akal bukanlah faktor yang mewajibkannya. Kemudian disepakati bersama wajibnya 'lmamah' (mengangkat imam) dengan firman Allah SWT :

"Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya serta pemimpin-pemimpin kamu" (An-Nisa': 59)

Berdasarkan ayat di atas, wajib hukumnya bagi kita untuk mentaati penguasa yang berdaulat.

Hisyam bin 'Urwah telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Sepeninggalku, kamu akan diperintah oleh para pemimpin, ada yang baik dan ada yang jahat, memimpin dengan kejahatannya. Patuhi dan taatilah mereka dalam segala urusanyang sesuai denganAl-Haq. Jika mereka berbuat baik, maka bagimu (pahala) amalmu dan bagi mereka (pahala) kebaikan mereka. Jika mereka berbuat jahat, maka bagi kamu (pahala) amal baikmu dan tanggung jawab mereka kejahatan yang mereka lakukan."

Dengan demikian, telah ditetapkan wajibnya mengangkat seorang imam, status wajibriya adalah wajib kifayah seperti hukum jihad, menuntut ilmu dll. (Ahkamus Sulthaniyah hal 5-6)

Al-Qadhi Abu Ali berkata: "Mengangkat seorang imam adalah wajib."

Imam Ahmad berkata: "Fitnah (kekacauan) akan terjadi jika tidak ada pemimpin yang mengatur urusan orang banyak."

Demikian juga, ketika para sahabat berbeda pendapat pada hari saqifah (tentang pemilihan khalifah), orang-orang Anshar berkata: Dari kami seorang amir dan dari kalian juga seorang amir !" Namun Abu Bakar dan Umar menolak gagasan tersebut. Mereka berkata: "Sesungguhnya orang Arab hanya tunduk kepada bangsa Quraisy." Seandainya mengangkat imam tidak wajib, niscaya tidak akan terjadi dialog yang hangat dan perdebatan tentang masalah itu. Sebab, pasti akan ada yang menyanggah; "Mengangkat seorang imam tidaklah wajib, baik bagi suku Quraisy maupun yang lainnya !" (Lihat Ahkamus Sulthaniyah hal 19) Imamul Haramain berkata: "Masalah "Imamah" termasuk masalah furu'." (Lihat Mughitsul Khalgi hal 9)

Jadi, mengangkat seorang khalifah atau imam bagi segenap kaum muslimin termasuk masalah fiqih yang tercantum di dalam buku-buku fiqih beserta syarat-syaratnya. Bukan termasuk masalah ushuludin apalagi rukun Islam. Masalah tersebut hanya dicantumkan di dalam buku-buku furu' (fiqih), yang sangat memungkinkan sekali untuk saling berbeda pendapat di dalamnya. Al-'Allamah Bukhait Al-Muthi'iy mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Sullamul Wushul Hasyiyatu Nihayatis Suul sebagai berikut: "Saya katakan: Masalah wajibnya mengangkat seorangImam 'Aam (imam bagi segenap kaum muslimin), tanpa diragukan lagi termasuk permasalahan furu' fiqhiyyah. Bukan termasuk ushuluddin. Dasarnya adalah ijma' yang sudah mutawatir semenjak zaman sahabat. Hukumnya hanyalah wajib kifayah."

Bahkan mengangkat masalah 'lmamah' lebih dari pada semestinya serta berlebih-lebihan dalam mempropagandakannya termasuk dasar agama Syi'ah Rafidhah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahi-mahullah menukil ucapan seorang penganut paham Syi'ah Imamiyah yang bernama Ibnul Muthahhir Al-Hulli, dia berkata dalam bukunya sebagai berikut: "Amma Ba'du, Risalah yang mulia dan makalah yang menyentuh ini mencantumkan tuntutan terpenting dalam hukum Islam dan termasuk masalah kaum muslimin yang sangat agung, yaitu masalah 'lmamah'. Hanya melalui masalah itulah derajat yang mulia dapat diraih. Masalah 'lmamah' ter-masuk salah satu rukun iman, yang merupakan sebab seseorang dapat kekal di dalam surga serta dapat terhindar dari murka Allah. (lihat Minhajus Sunnah 1/20)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah membantah ucapan di atas. Beliau mengemukakan sebagai berikut:

"Sesungguhnya yang berpendapat bahwa masalah "Imamah" merupakan tuntutan yang paling urgen di dalam hukum Islam dan merupakan masalah kaum muslimin yang paling mulia adalah dusta belaka berdasarkan ijma' (kesepakatan) kaum muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun kalangan Syi'ah. Bahkan pendapat seperti itu adalah sebuah kekufuran. Sebab masalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya lebih penting daripada masalah 'lmamah'. Hal itu sudah sangat dimaklumi di dalam dienul Islam. Seorang kafir tidak akan menjadi seorang mukmin hingga ia bersyahadat Laa Ilaaha Illallaahu waAnna Muhammadan Rasulullah. Atas dasar itulah Rasulullah SAW memerangi kaum kafir." (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah 1/16).

Apa yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam di atas tadi sudah sangat jelas menunjukkan bahwa masalah 'lmamah' bukan termasuk masalah Ushuluddin.

Syaikh Rabi' bin Hadi menyimpulkan:

"Anda dapat melihat, alim ulama menggolongkan masalah ini ke dalam masalah furu'. Masalah 'imamah' tidak lebih hanyalah sebagai wasilah (bukan tujuan utama) yang berfungsi sebagai pelindung Dienul Islam dan pengatur urusan dunia. Dalil wajibnyajuga diperselisihkan, apakah berdasarkan akal atau berdasarkan nash syar'i ? Kita juga berpendapat demikian (yaitu wajib hukumnya). Namun dalil yang dikemukakan oleh Al-Mawardi tadi bukanlah nash gath'i mengenai wajibnya 'lmamah'. Dalil tersebut hanya berbicara mengenai wajibnya mentaati para pemimpin yang benar-benar telah be-daulat. Barang kali Al-Qadhi Ahu Ali tidak memakainya sebagai dalil wajibnya mengangkat imam disebabkan kandungan dalil itu tidak menjurus ke sana. Yang pasti, apakah layak masalah 'lmamah' yang diperselisihkan dalil wajibnya tersebut dikata-kan sebagai "tujuan dien yang hakiki", "kewajiban utama para Nabi" dan ungkapan-ungkapan lain yang berlebihan ? yang membesar-besarkan masalah itu lebih dari ukurannya ? lalu meremehkan masalah aqidah dan prinsip-prinsip dien lainnya ?

(Lihat Manhajul Anbiya' fid Da`wati Ilallaah hal 155)

Dari ucapan alim ulama di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa:

1. Mengangkat seorang imam adalah fardhu kifayah. Ini adalah hal yangkita sepakati bersama. Tentu saja dengan kriteria imam yang te.lah dibahas secara khusus dalam kitab-kitab ahli ilmu.

2.Masalah 'lmamah' termasuk masalah furu' (fiqhiyyah). Artinya tidak termasuk masalah ushul (inti). la hanyalah wasilah bagi tujuan hakiki diutusnya para rasul, diturunkannya kitab-kitab suci dan hikmah diciptakannya manusia, yaitu: 'Mengesakan Allah swt dalam ibadah mereka'. Itulah yang menjadi pokok pembahasan, yaitu penegasan bahwa masalah 'lmamah' bukanlah masalah dan tujuan utama di dalam dien ini. la hanyalah ma-salah furu' seperti yang dituturkan oleh Imam Al-Haramain dan yang lainnya.

Kekuasaan Bukanlah Tujuan Dakwah Para Rasul

Allah Ta'ala telah menjelaskan kepada kita misi dakwah para rasul yang diutus-Nya. Allah SWT berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembalah Allah (saja) danjauhilah thaghut itu."

(An-Nahl : 36)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu kecuali kami wahyukan kepadanya 'bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Aku. Maka sembahlah Aku saja." (Al-Anbiya' 25)

Setiap rasul pasti memulai dakwahnya dengan menyerukan tauhid uluhiyah, sebab itulah inti ajaran Islam yang mulia ini. Sebagaimana yang diserukan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu'aib dll

"Hai kaumku, sembahlah Allah! sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya (Al-A'raf : 59, 65, 73, dan 85).

Demikian pula Rasulullah, beliau juga diperintahkan untuk menyerukan kalimat tauhid ini kepada kaum Quraisv.

' Katakanlah (wahai Muhammad), 'Sesungguh-nya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama."

(Az-Zumar: 11)

Dari untaian ayat-ayat di atas jelaslah bahwa misi dakwah para rasul adalah menegakkan kalimat tauhid dan memberantas penyakit-penyakit syirik. Tidak ada satu nabi pun yang menjadikan kekuasaan sebagai misi-utamanya.

Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai masalah ini silakan baca majalah As-Sunnah edisi ke 2 tahun V pada mabhats yang berjudul 'Tashfiyah Dalam Dakwah Menuju Jalan Allah'.

Kekuasaan Adalah Suatu Yang Telah Dijanjikan Bagi Kaum Muwahhidin (orang-orang yang memurnikan tauhid).

Allah Ta'ala berfirman:

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamudan mengerjakan amal salih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagai-mana Dia telah menjadikan orang-orang sebe-lum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan menegakkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukarkan keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nur : 55)

Secara tegas Allah Ta'ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan kekuasaan itu bagi hamba-hamba-Nya yang memurnikan ibadah hanya kepada-Nya serta menjauhi segala bentuk kemusyrikan.

Namun sangat disayangkan, sebagian orang jus-tru bertindak sebaliknya! Meraih kekuasaan dengan segala upaya, baru setelah itu menegakkan tauhid (kata mereka)! Cara seperti itu jelas bertentangan dengan sunnatullah dan sunnah para rasul. Jika niat mereka meraih kekuasaan murni hanya untuk menegakkan dienullah, seharusnya mereka melak-sanakan perintah Allah SWT tersebut dan meneladani para rasul dalam berdakwah dan berjuang. Sebab menyimpang dari pedoman dan bimbingan nabawi, tentu akan jauh dari berkah serta tidak akan ber-hasil. Bagaimana mungkin Allah Ta'ala akan meridhai orang-orang yang jahil tentang tauhid lagi ber-lumuran dengan noda syirik dan bidah ?

Rasulullah SAW juga pernah ditawari kekuasaan ketika beliau masih berada di kota Makkah. Namun tawaran tersebut beliau tolak. Beliau tetap eksis di atas jalur dakwah para nabi sebelumnya. Hingga akhirnya pemuka-pemuka Quraisy mengutus 'Utbah bin Rabi'ah supaya membujuk Rasulullah §H agar menghentikan dakwah.

"Utbah berkata: "Wahai saudaraku ! engkau ditengah-tengah kami adalah seorang yang berasal dari keluarga terpandang dan nasab yang mulia sebagaimana yang engkau ketahui. Namun engkau telah membawa bencana besar atas kaummu ! Engkau pecah belah persatuan mereka, engkau buyarkan harapan mereka, dan engkau hinakan tuhan-tuhan mereka serta engkau kafirkan nenek moyang mereka terdahulu. Sekarang dengarkanlah ucapanku ! Aku akan menawarkan beberapa perkara, mudah-mudahan engkau dapat menerima sebagian tawaran kami ini."

Rasulullah SAW berkata kepadanya: "Katakanlah wahai Abul Walid!"

'Utbah pun berkata: "Wahai saudaraku, jika engkau menghendaki harta dari ajaran yang engkau dakwahkan itu, maka akan kami kumpulkan harta kami untukmu, hingga engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika engkau menghen-daki kedudukan yang mulia, akan kami angkat engkau menjadi tuan di antara kami, kami tidak akan memutuskan suatu perkara pun sehingga engkaulah yang memutuskannya. Jika engkau meng-hendaki kekuasaan, akan kami angkat engkau sebagai penguasa atas kami. Jika ternyata engkau terkena sihir yang tidak dapat engkau atasi, maka kami akan mencarikan tabib untuk menyem-buhkanmu, akan kami belanjakan harta kami demi kesembuhanmu. Karena barangkali ada pengganggu (jin) yang menguasai seseorang yang tidak dapati diatasinya kecuali diobati." Hingga akhirnya 'Utbah menyelesaikan seluruh tawarannya itu sedangkan Rasulullah SWT| tetap mendengarkannya. Kemudian beliau bersabda: "Sudah selesaikah wahai Abul Walid?"

"Sudah !"jawabnya. Rasulullah berkata: "Sekarang, dengarkanlah ucapanku."

"Silakan!" sela 'Utbah.

Lalu beliau membacakan surat Fushshilat setelah terlebih dahulu membaca basmalah.

"Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penvavang.

Haa Miim. Diturunkan dari Rabb Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui.
Yang membawa kabar gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling daripadanya, maka mereka tidak mau mendengarkannya
"

Rasulullah terus membacakannya dihadapan 'Utbah yang diam sejenak menyimak bacaan Rasulullah sambil bertelekan dengan kedua tangannya ke belakang. Sampai Rasulullah membaca ayat sajadah (ayat 38) beliau pun sujud, kemudian berkata:

"Wahai Abul Walid, Apakah engkau telah mendengarkannya ? Sekarang terserah padamu !"

Setelah itu 'Utbah pun pulang menemui pemu-ka-pemuka Quraisy. Mereka bertanya: "Bagaimana hasilnya wahai Abul Walid ?"

'Utbah menjawab: "De'mi Allah, aku telah mendengar sebuah perkataan yang belum pernah aku mendengar perkataan seperti itu. Demi Allah, perkataan itu bukanlah sihir, bukan pula syair, apalagi jampi-jampi! Wahai segenap kaum Quraisy, taatilah aku dan berikanlah ketaatan itu padaku, biarkanlah pemuda itu (Rasulullah SAW)! Demi Allah, perkataannya yang kudengar itu pasti akan menjadi sebuah peristiwa Besar ! Jika orang-orang Arab (selain Quraisy) mampu mengalahkannya, berarti kamu dapat mengatasinya melalui kaum yang lain. Jika pemuda itu dapat menguasai bangsa Arab, maka kekuasannya adalah kekuasaan kalian juga, kemuliaannya adalah kemuliaan kalian juga. Dan kalianlah orang yang paling beruntung dengan kemenangannya!"

Pemuka-pemuka Quraisy itupun berkata: "Demi Allah, ia telah menyihirmu dengan lisannya yaa Abul Walid!"

'Utbah menyeringai: "Terserah kalian semua, namun demikianlah pendapatku!"

(H.R Ibnu Ishaq dalam sirahnya dan dicantum-kan oleh Ibnu Hisyam dalam bukunya I/hal 293-294, dikeluarkan juga oleh 'Abd bin Humeid dalam Munta-khabnya hal 208 no.1141, dan Abu Ya'la dalam Mus-nadnyalemb.101 dari Jabir 6 )

Didalam riwayat lain dari Abdullah bin 'Abbas ia menceritakan bahwa beberapa orang pemuka suku Quraisy datang menawarkan beberapa perkara kepada Rasulullah persis seperti tawaran yang diajukan oleh 'Utbah di atas. Rasulullah SAW menjawabnya sebagai berikut:

"Sedikitpun aku tidak tertarik dengan tawaran kalian itu. Sama sekali aku tidak meminta harta, kemuliaan dan kekuasaan atas kalian semua sebagai imbalan dari ajaran yang kudakwahkan ini. Akan tetapi Allah telah mengutusku sebagai seorang rasul kepada kalian serta menurunkan Al-Qur'an kepada-ku. Dia telah memerintahkan kepadaku agar aku menjadi pembawa kabar gembira sekaligus sebagai pemberi peringatan bagi kalian. Dan aku telah me-nyampaikan risalah Rabbku. Dan aku juga telah memberi nasehat kepada kalian. Jika kalian mene-rima nasehat itu, maka kalian telah mendapatkan bagiankalian di dunia dan di akhirat. Namun jika kalian menolaknya, maka aku akan bersabar di atas perintah Allah Ta'ala hingga Allah SWT memutuskan perkara di antarakita."

(Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq sebagai penguat riwayat sebelumnya. Dicantumkan oleh Ibnu Hisyam clalam sirahnya I/hal 295-296) Hikmah Yang Terkandung Dalam Surat Fushshilat

Jika kita perhatikan dengan saksama surat yang dibacakan Rasulullah saw di hadapan 'Utbah, banyak sekali hikmah yang terkandung di dalam. Di antara-nya: "Penyebutan tiga pokok dasar yang merupakan asas seluruh agama samawi, yaitu

-Tauhidullah dalam ibadah.

-Penetapan Nubuwwat.

-Iman kepada Hari Akhirat.

Tiga pokok dasar di atas merupakan misi utama dakwah para rasul. Dan juga merupakan inti dari seluruh kitab suci yang diturunkan Allah SWT. Al-Imam Asy-Syaukani telah menjelaskan ke tiga landasan utama tersebut di dalam kitabnya yang berjudul: "Irsyaadul Fuhuul 'llaa Ittifaagiys Syraai' 'Alat Tauhid wal Ma'aad ivan Nubuwwat", beliau membawakan dalil-dalil dari Al-Qur'an, At-Taurat dan Al-Injiil.

Pada awal surat Fushshilat, Allah SWT menetap-kan nubuwwat Muhammad SAW. Beliau diperintahkan untuk menyerukan kepada umat manusia bahwa beliau adalah seorang manusia biasa yang diistimewakan Allah SWT dengan wahyu (ayat 6). Yaitu berupa kitab suci yang berbahasa Arab yang dijelaskan ayat-ayatnya, berisi kabar gembira dan peringatan (ayat 3-4). ,

Ini adalah penetapan kenabian Rasulullah SAWSAW.

Kemudian Allah SWT berbicara tentang pencip-taan langit dan bumi beserta penghuninya serta seluruh fasilitas yang ada di dalamnya (ayat 9-12). Guna menegaskan bahwa Dia-lah Rabb yang berhak untuk disembah dan diibadahi, tiada ilaah (sesem-bahan) yang berhak disembah kecuali Dia semata (14 & 37-38).

Ini adalah penetapan Tauhid Uluhiyyah.

Lalu Allah SWT. menceritakan azab di dunia yang menimpa kaum yarig durhaka seperti kaum 'Add dan Tsamud (ayat 15-18).

Setelah itu Allah SWT menetapkan adanya Hari Kebangkitan, hari dikumpulkannya seluruh makh-luk. Allah SWT menyebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan itu. Diantaranya:

1. Persaksian anggota tubuh manusia terhadap perbuatan
yang mereka lakukan di dunia (ayat 19-22).

2. Azab yang ditimpakan kepada orang yang ingkar
pada Hari Kiamat (ayat 26-29).

S.Janji Allah SWT bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta istiqamah di atas keimanan mereka (ayat 30-32).

Secara garis besar, surattersebutmenjelaskan ke tiga landasan utama itu. Dengan demikian jelas-lah, kekuasaan bukan merupakan prioritas utama dalam dakvvah para rasul. Sebab jika memang demikian, Rasulullah SAW pasti menerima tawaran yang disodorkan kaum Quraisy tersebut. Menurut logika orang yang beranggapan bahwa kekuasaan adalah solusi terbaik untuk mengentaskan seluruh problematika amat, tawaran kekuasaan tersebut mestinya diterima oleh Rasulullah SAW. Sebab hal itu merupakan jalan pintas untuk menuju kejayaan umat (menurut logika mereka)! Namun tidak begitu menurut hikmah ilahiyah yang Allah wahyukan kepada rasul-Nya! beliau tidak berkeinginan memilih jalan yang menyimpang dari jalan para rasul sebelumnya. Untaian ayat tersebut telah membuat 'Utbah terpaku dan terpukau. Ayat tersebut membungkam segenap kaum penentang bahwa tugas para utusan Allah SWT. Hanyalah menyeru umat manusia agar kembali kepada jalan Allah SWT , kepada pengesaan Allah dalam ibadah. Hal itu tertuang di dalam salah satu ayat yang dibacakan Rasulullah :

"Siapakahyang lebih baik perkataannya dari-pada orangyang menyeru kepada Agama Allah dan mengerjakan amal shalih serta berkarta: 'sesungguhnya aku termasuk orang yang ber-serah diri. "(Fushshilat : 33)

Mayoritas Pengikut Para Rasul Adalah Kaum Lemah

Sudah kita maklumi bersama bahwa Allah SWT tidak membebankan rasul-rasul-Nya untuk menegakkan atau menumbangkan sebuah daulah. Hal itu dapat kita buktikan lewat sepak terjang mereka dalam berdakwah. Seruan kepada perebutan kekuasaan umumnya menarik minat banyak orang dari berbagai kalangan. Mereka bisa saja bersatu demi hal hal itu. Pasti akan banyak sekali yang bakal mengelilingi hidangan bernama "kekuasaan" itu. Orang yang baik maupun yang jahat, yang tulus nan jujur maupun para pendusta lagi bermuka dua ! Sebagaimana yang dilakukan sebagian kelompok dakwah. Mereka merekrut 'orang-orang yang dianggap berpotensi' untuk meraih kekuasaan. Sehingga banyak orang yang ter-pukau dengan kemilau nama-iiama beken yang di-akui sebagai simpatisan kelompoknya. Padahal tidak sedikit dari 'orang-orang itu' yang hanya nebeng dan sekedar menjadikan kelompok tersebut sebagai batu loncatan untuk mendapat jabatan dan kedudukan. Cara seperti itu jauh berbeda dengan metode dakwah paraNabi. Sejarah mencatatbahwa mayoritas pengi-kut para nabi adalah orang-orang lemah dan kaum fakir miskin. Allah berfirman tentang nabi Nuh beserta pengikutnya:

"Mereka berkata:"Apakah kami akan beriman kepadamu, padahalyang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?" (QS. 26:111)

Mengenai nabi Shalih dan kaumnya Allah SWT berfirman:

"Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka:"Tahukah kamu bahwa Shaleh diutus (menjadi rasul) oleh Rabbnya?". Mereka menjawab:"Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampai-kannya". Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu".(QS. 7:75-76)

Hikralius pernah bertanya kepada Abu Sufyan: 'Apakah yang mengikutinya orang-orang terpandang ataukah kaum lemah ?" Abu Sufyan menjawab: "kaum lemahlah yang mengikutinya." Hiraklius menimpali: "Aku menanyakan kepadamu tentang kaum yang menjadi pengikutnya, apakah kaum ter-pandang atau kaum lemah! Engkau sebutkan bahwa yang mengikutinya adalah kaum lemah ! demikian-lah pengikut para rasul!"

Coba lihat bagaimana Rasulullah SAW menyebarkan dakwah, seperti yang diungkapkan Jabir bin Abdillah ra berikut ini:

"Rasulullah SAW menetap di kota Makkah selama lebih kurang sepuluh tahun. Beliau menyerukan dakwah dari pintu ke pintu mendatangi orang-orang di rumah-rumah mereka dan di pasar 'Ukkazh dan Majinnah pada musim haji di Mina. Beliau menyeru: "Siapakah yang sudi melindungiku ! siapakah yang sudi menolongku ! agar aku dapat menyampaikan risalah Rabbku, maka baginya Surga ! Sampai-sam-pai jika seseorang hendak berangkat dari Yaman atau dari Mudhar menuju Makkah, maka kaumnya akan mendatanginya seraya memberitahu: "Hati-hati ter-hadap pemuda Quraisy (Rasulullah SAW) itu, jangan-lah kamu terpengaruh dengan ucapannya !" Demikianlah kondisinya! beliau mendatangi orang-orang sedang-kan mereka meremehkan beliau. Hingga akhirnya Allah mengutus kami dari negeri Yatsrib (Madinah). Kami pun bersedia melindungi beliau dan membenarkan ucapan beliau. Sehingga salah seorang dari kami datang menemui beliau lalu dia beriman kepada beliau dan beliau membacakan kepadanya AI-Quran. Kemudian dia kembali kepada keluarganya mengajak mereka masuk Islam, akhirnya mereka juga ikut masuk Islam. Hingga tidak tersisa satu rumah pun milik orang Anshar kecuali terdapat bebe-rapa orang yang telah menampakkan keislamannya." (H.R Ahmad 3/322).

Demikianlah Rasulullah dalam mengembangkan dakwah. Dakwah beliau bersih dari slogan-slogan politik dan kekuasaan.

Seruan kepada pendirian daulah dan kekuasaan sangat mudah untuk menarik minat semua lapisan masyarakat, sebab mayoritas manusia adalah pem-buru materi dunia dan pengikut hawa nafsu. Bukan-lah suatu hal yang berlebihan, sebab Rasulullah SAW juga mengatakan:

"Kalian akan berlomba-lomba memperebutkan kekuasaan, padahal ia hanyalah penyesalan pada Hari Kiamat, alangkah manis kekuasaan itu dan betapa pahit berpisah dengannya!" (H.RBukhari)

Permusuhan yang dilancarkan oleh penentang dakwah rasul adalah bukti bahwa dakwah mereka steril dari slogan-slogan kekuasaan. Hal itu terbukti ketika kaum Quraisy menawarkan kekuasaan kepada Rasulullah saw yang secara tegas beliau tolak. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menukil ucapan Al-Muhallab sebagai berikut:

"Sikap rakus kepada kekuasaan adalah sebab terjadinya peperangan diantara umat manusia. Sehingga banyak darah yang tertumpah, harta yang dirampas dan kehormatan yang diperkosa serta terjadilah kerusakan di atas muka bumi. Bila sudah terbunuh, dicopot dari kekuasaan atau meninggal dunia barulah orang-orang yang berlomba mempere-butkannya menyesal terlibat dalam kancah perebutan kekuasaan. Karena ia akan dituntut atas segala tin-dakannya. Kemudian setelah ia lengser, lenyaplah apa yang dahulu diidam-idamkannya (lihat Fathul Bari 13 /126).

Kesalahpahaman Dalam Memahami Kalimat Tauhid

Orang-orang atau kelompok yang menjadikan kekuasaan sebagai orientasi perjuangan menafsirkan kalimat tauhid dengan makna "Tiada hakim (penentu hukum) selain Allah" Tafsiran tersebut mereka jadikan sebagai acuan dan pijakan dalam pergerakan yang mereka serukan untuk menegakkan kalimat tauhid. Namun beiiarkah demikian ? Tafsiran di atas adaiah tafsiran yangkurang. Itu hanyalah tafsiran sebagian makna kalimat tauhid. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu terdapat dalam buku-buku yang banyak beredar sekarang ini. Sedangkan tafsir yang benar menurut alim ulama terdahulu maupun sekarang adalah "Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah". Kekeliruan itu mengakibatkan kesalahan dalam menetapkan skala prioritas dalam berdakwah, yang pada akhirnya menyimpang dari metode dakwah para rasul. Jadi, perbedaan dakwah mereka dengan dakwah para rasul adalah perbedaan yang sangat prinsipil.

Aqidah Tauhid Terlebih Dahulu Ataukah Kekuasaan ?

Tentu saja, aqidah yang benar adalah jaminan kemenangan umat yang mulia ini. Dapat kita teladani dari garnbaran masyarakat Madinah yang dibina langsung oleh Rasulullah SAW. Dalam riwayat Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Sulami , disebut-kan bahwa Rasulullah saw.pernali bertanya: "Dimana Allah ?" kepada seorang budak wanita yang sehari-harinya menggembalakan kambing di Jawwaniyah. Ternyata budak wanita itu dapat menjawab dengan tepat tanpa ada setitik keraguan dalam menjawab-nya. Artinya adalah keyakinan dan aqidah seperti itu sudah merata di kota Madinah, hingga seorang budak wanita yang sehari-harinya menggembalakan kambing jauh di luar kota juga mengetahuinya. De-ngan masyarakat seperti itulah agama Islam men-capai kejayaannya. Hingga daulah mereka terben-tang dari Andalus sampai ke negeri Cina. Benarlah janji Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 55 di atas tadi Sekarang kita lihat kondisi kaum muslimin sekarang ini, terutama di Indonesia, apakah mereka mengetahui aqidah yang sederhana tadi ? Cukup realita yang menjawabnya! Padahal dalam ayat yang lain Allah berfirman:

"Makajika mereka beriman kepada apayang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah m,endapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. 2:137)

Berpaling dari aqidah yang benar adalah sumber segala perpecahan, permusuhan dan pertikaian sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas. Jelaslah bahwa jalan menuju kejayaan umat adalah dengan memperbaiki aqidah mereka terlebih dahulu dari noda-noda syirik. Tokoh mereka sendiri, yaitu Muhammad Quthb, mengakui hal itu. Pengakuan itu beliau sampaikan di Darul Hadits Makkah Al-Mukarramah. Berikut pengakuannya:

Ada seorang yang bertanya: "Sebagian orang bejr-pendapat bahwa Islam akan kembali tampil lewat kekuasaan, sebagian lain berpendapat bahwa Islam akan kembali tampil dengan jalan meluruskan aqidah serta tarbiyah masyarakat. Manakah diantara dua pendapat ini yang benar ?"

Jawab beliau:

"Bagaimana Islam akan tampil berkuasa di muka bumi, jika para du'at (juru dakwah) belum me-luruskan aqidah umat ? sehingga kaum muslimin dapat beriman secara benar dan dapat diuji kete-guhan agama mereka, lalu mereka bersabar dan berjihad di jalan Allah. Bila hal tersebut telah dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, barulah agama Allah akan berkuasa dan Jiukum-hukumnya diterapkan di persada bumi. Persoalan ini amat jelas sekali. Kekuasaan itu tidak datang dari langit dan tidak serta merta turun dari langit. Memang benar, segala sesuatu datang dari langit, tetapi melalui kesungguhan dan upaya manusia. Hal itulah yang diwajibkan Allah atas manusia dengan firman-Nya:

"Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya-lah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian lainnya." (Muhammad: 4)

Karena itu kita harus memulai dengan meluruskan aqidah, mendidik generasi berikut atas dasar aqidah yang benar, sehingga terwujud suatu generasi tahan uji dan sabar dalam menghadapi berbagai cobaan, sebagaimana yang terjadi pada generasi awal Islam."

(Minhajul Firgatin Najiyah karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu).

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa para nabi tidaklah diutus untuk menumbangkan satu daulah dan menegakkan daulah lainnya. Mereka bukanlah pengejar kekuasaan dan bukan pula termasuk orang yang berlomba-lomba merebutnya. Mereka jauh dari intrik-intrik politik yang menyimpang. Mereka hanyalah membawa bidayah bagi semesta alam, menyelamatkan umat manusia dari kesesatan bidah dan syirik, mengeluarkan umat manusia dari alam kegelapan kepada cahaya yang terang benderang. Serta memperingatkan umat manusia dari murka Allah SWT. Meskipun kekuasaan itu disodorkan kepada mereka, pastilah mereka tolak. Merekatetap konsisiten di atas jalur dakwah kepada jalan Allah SWT. Sebagaimana tawaran kaum kafir Quraisy kepada Rasulullah yang secara tegas beliau tolak. Pernah juga ditawarkan kepada beliau, apakah suka menjadi seorang nabi merangkap raja ataukah menjadi seorang hamba dan rasul. Beliau lebih memilih menjadi seorang hamba dan rasul. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata:" Malaikat Jibril pernah menemui Rasulullah SAW. Kemudian ia menatap ke arah langit, ternyata seorang malaikat sedang turun. Malaikat Jibril berkata: "Sesungguhnya malaikat ini tidak pernah turun ke bumi semenjak diciptakan. Malaikat itu berkata: "Wahai Muhammad, Allah telah mengutusku kepadamu, Dia memberimu pilihan; 'Apakah engkau suka menjadi seorang nabi merang-kap raja ataukah seorang rasul dan hamba?" Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah "Bersikap tawadhu'lah terhadap Rabbmu !" Rasulullah SAW akhirnya menjawab: "Aku lebih senang menjadi seorang rasul dan hamba !"

(H.RAhmad 11/231)

Demikianlah sikap yang seharusnya diteladani oleh setiap da'i dan alim ulama pewaris nabi. Mari kita'teladani bersama!

Maraaji'

1. Al-Quran Al-Karim

2. Ahkamus Sulthaniyyah karya Al-Mawardi

3. Minhajus Sunnah An-Nabaiviyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

4. FathulBari karya Ibnu Hajar Al-Asqalaani Madarikun Nazhar tulisan Abdul Malik Ar-
Ramadani

5. Minhajul Anbiyaa'fid Dakwati ilallah tulisan Rabi' bin Hadi Al-Madkhali